Skyepod – Bagaimana video game Jepang menghormati karya? Pertanyaan besar yang menarik untuk diulas.
Salah satu tokoh Persona 5, Morgana, selalu menyebut wagahai (ワガハイ) dalam dialog. Awalnya, saya kira itu nama sekolah (Waga High?) tapi tidak mungkin karena orang Jepang tidak menyebut sekolah lanjutan tingkat atas dengan cara itu. Lagipula, nama sekolahnya Syujin High, bukan Waga. Penasaran, lalu saya meluncur ke Google.
Sampai di Reddit, ada salah satu topik yang membahas bahwa istilah wagahai berasal dari cerita bersambung klasik pada tahun 1905, yakni Wagahai wa Neko de Aru (吾輩は猫である) karya Natsume Soseki. Cerita ini terbit di majalah sastra Hototogisu (ホトトギス) sebelum kemudian dibukukan.
“Wagahai.”
Isinya adalah kehidupan seekor kucing di Jepang pada periode Meiji (antara 1868-1912), dan bagaimana masyarakat Jepang pada masa itu mengalami bentrok budaya Barat dan Timur. Dengan sudut pandang orang pertama dari seekor kucing (atau sudut pandang kucing pertama?), kucing yang menjadi protagonis dalam cerita tersebut memakai istilah wagahai untuk menyebut dirinya sendiri, karena ia adalah kucing rumahan yang derajatnya lebih tinggi dari kucing jalanan.
Natsume Soseki sendiri bukan penulis sembarangan. Beliau merupakan salah satu sastrawan Jepang terkemuka, yang bahkan potretnya pernah terpampang di lembar uang ¥1.000 dari tahun 1984-2004.
Soseki berasal dari jurusan Sastra Inggris, pernah belajar di London, dan menjadi sastrawan Jepang pertama yang menulis tentang legenda Raja Arthur dari Inggris. Tidak salah jika karya Natsume Soseki dirujuk di Persona 5, karena sama-sama bertema tradisi klasik bertemu modern, atau budaya Timur bertemu Barat.
Mari mundur sejenak dari Persona 5. Salah satu tema yang selalu ada dari seri Megami Ibunroku Persona sampai sekarang adalah kupu-kupu biru. Tema ini berasal dari kitab karangan Chuang Tzu, yang di salah satu bab mengisahkan tentang mimpi menjadi kupu-kupu.
Lukisan Chuang Tzu karya Ike no Taiga, pelukis klasik Jepang yang hidup di antara tahun 1723-1776.
Dalam seri Persona, tokoh yang bertemu kupu-kupu biru (atau Philemon, yang memakai topeng kupu-kupu) dapat masuk ke Velvet Room. Ruangan tersebut dikatakan bertempat di antara mimpi dan kenyataan.
Barusan adalah satu contoh tentang bagaimana Persona, sebuah seri video game, menghormati seni sastra dengan cara merujuk tema dalam konteks tepat. Poin bonus karena karya yang dirujuk berasal dari budaya serumpun (Wagahai dari Jepang, Chuang Tzu dari Cina), sehingga Persona tidak kehilangan identitas budaya.
Tentu saja sebuah karya kontemporer tidak harus merujuk karya klasik dari negeri sendiri. Masih bicara tentang seri Persona, kita mundur ke iterasi yang dirlis tahun 1994 silam, yakni Shin Megami Tensei if….Shin Megami Tensei If… terinspirasi oleh “If…,” sebuah film tentang kehidupan boarding school dari Inggris yang disutradarai Lindsay Anderson pada tahun 1968. Tokoh utamanya adalah Mick Travis, diperankan Malcolm McDowell, yang aktingnya memikat Stanley Kubrick sehingga dia dijadikan pemeran utama A Clockwork Orange.
Sampulnya saja mirip.
Travis adalah murid pemberontak, dan di akhir film dia berhasil menguasai sekolah secara surealis. Puluhan tahun kemudian Kazuma Kaneko menciptakan Shin Megami Tensei if…, dengan antagonis bernama Hazama Ideo, yang menguasai sekolah dengan kekuatan iblis.
Jelaslah bahwa Hazama Ideo merupakan Mick Travis versi Shin Megami Tensei. Bahkan bisa dibilang bahwa Shin Megami Tensei if… merupakan “sekuel tidak resmi” dari if…., karena seolah-olah melanjutkan apa yang terjadi setelah Mick menguasai sekolah.
Shin Megami Tensei if… merujuk if…. dengan hormat melalui pemakaian tema, konteks, dan tentunya judul. Kaneko tidak menjiplak utuh, melainkan mengganti latar ke Jepang, memasukkan unsur yang relevan dengan kehidupan sekolah di sana, dan mencampur dengan tema yang sudah terpancang dalam seri Megami Tensei.
Sekarang mari kita masuk ke ranah yang lebih abstrak. Dalam sebuah wawancara Gamasutra dengan Koichi Hayashida, sutradara Super Mario Galaxy 2 sampai 3D World, dia mengungkapkan bahwa rancangan level Super Mario memakai struktur kishoutenketsu (起承転結).
Kishoutenketsu di Super Mario 3D World
Saya sudah pernah bahas kishoutenketsu di Hareview Pendekar Cyborg. Intinya, kishoutenketsu adalah struktur puisi empat baris dari Asia Timur yang kini juga dipakai untuk komik empat panel yonkoma.
Pada baris pertama atau kiku, dijabarkan topik utama. Baris kedua atau shouku melanjutkan topik utama sekaligus bersiap untuk pelintiran. Pada baris ketiga atau tenku, narasi berjungkir dengan adanya topik baru dan menjadi puncak cerita. Baris akhir atau kekku berisi narasi yang dipelintir sesuai dengan kiku dan shouku.
Koichi Hayashida berhasil menghormati puisi tradisional Asia Timur dengan menerapkan strukturnya ke desain level. Berkat ini, meskipun seri Super Mario memiliki latar dunia fantasi, game tersebut tetap memiliki identitas budaya Jepang.
Hal abstrak tidak melulu hadir dari sastra tertulis. Untuk seri Devil May Cry, Hideaki Itsuno dari Capcom mengambil konsep gerakan teater kabuki bernama merihari (めりはり) yang secara kasar dapat diartikan sebagai modulasi.
Merihari perubahan kecepatan pada suatu gerakan. Misal suatu sabetan pedang dimulai dengan ancang-ancang lambat, lalu tiba-tiba sabetan tersebut meluncur dengan kencang. Ada perubahan dari kecepatan rendah, yang konstan di awal, menjadi tinggi di akhir.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Capcom berhasil merujuk kabuki untuk Devil May Cry tanpa mengurangi rasa hormat. Game tersebut berfokus ke gerakan karakter, dan mereka dapat mengambil contoh dari karya lain yang juga berfokus ke gerakan aktor. Semua ini dilakukan tanpa secara gamblang menyebut kabuki dalam Devil May Cry.
Itulah yang saya maksud “menghormati”. Bahwa medium yang tergolong “muda” seperti video game dapat mengambil tema, konsep, struktur, serta teknik dari medium yang lebih “tua”. Bukan unsur permukaan yang diambil, bukan sekadar tempelan, namun sebuah ramuan.
Pada akhirnya penghormatan ini akan memberi identitas budaya bagi karya muda tersebut. Saya rasa industri game Indonesia pun dapat menjadikan ini sebagai contoh positif.