
The Night Comes For Us. Nih dia, satu lagi film crime action besutan sutradara Indonesia yang namanya tak asing lagi, Timo Tjahjanto, yang kesohor berkat The Mo Brothers, bersama Kimo Stamboel.
Karya terbaru Timo yang satu ini boleh dibilang layak disantap oleh pecinta film aksi yang ingin mengobati rindu akan adegan-adegan tarung yang seru, sadis, dengan garapan yang ciamik. Terakhir kali yang membekas di kepala kita, ya The Raid.
Bagaimana dengan The Night Comes For Us? Saran saya, kamu harus menontonnya. Tapi mohon diperhatikan. Berhubung nontonnya di Netflix Original, usahakan tidak menontonnya bersama anak-anak di bawah umur, ya. Terlalu banyak adegan kekerasan yang vulgar.
Sinopsis
Film berkisah tentang seorang pembunuh bayaran atau “hitman” di sebuah organisasi kejahatan yang menguasai perdagangan sekitar Laut China Selatan dan Asia Tenggara. Namanya Ito (Joe Taslim), salah satu centeng yang diandalkan di organisasi mengerikan itu.
Di satu titik, Ito mengalami titik balik kehidupan dan berusaha menebus dosa dengan menyelamatkan calon korbannya, yang tak bukan adalah anak kecil. Pertaubatannya ini tentu tak mudah dan dibiarkan begitu saja oleh organisasi yang “membinanya” selama tiga tahun.
Sehingga, dalam pelariannya, Ito dikejar-kejar para pemburu di organisasi itu untuk dibunuh, termasuk korban yang ia selamatkan. Dalam usaha menyelamatkan calon korbannya ini, ia pun kembali ke kota asalnya.
Tak pelak, sahabat-sahabat lama Ito pun ikut terseret ke dalam pusaran konflik, yang berangsur jadi konflik pribadi saat yang diutus untuk menghabisi Ito adalah sahabat lamanya yang juga meniti karir di organisasi tersebut: Arian (Iko Uwais).
Kualitas Cerita
Saya tak ingin mengungkap spoiler. Jadi cukup disampaikan bahwa film ini mengambil tema cerita redemption yang generik, akan tetapi solid. Alur cerita diurai dengan cukup gamblang, ramah bagi penikmat film yang terbiasa dengan plot melompat-lompat antara present dan past atau flashback.
Untuk penggambaran karakter, baik peran utama maupun peran pendukung, terasa sederhana. Terasa cukup untuk membuat alur cerita berjalan dari titik mulai film hingga akhir, meskipun ada beberapa karakter yang penggambarannya cukup menonjol dan diperankan dengan baik oleh hampir semua aktor.
Tapi, jujur saja, tak satupun karakter di dalam film yang menyisakan ikatan emosional yang lebih menonjol dari yang lainnya bagi penulis saat menonton film ini.
But hey, who’s watching action movies for the story right?
Baca juga: Begini Cara Ampuh Akses Netflix dari Telkomsel dan IndiHome
Presentasi
Pada aspek ini, The Night Comes For Us patut diacungi jempol. Mulai dari koregrafi, adegan laga, tata pencahayaan, tata suara, dan special effect (Sfx) digarap nyaris sempurna. Hasilnya, film aksi yang asyik banget untuk ditonton selama kurang lebih dua jam. Selama kamu tak keberatan melihat adegan kekerasan yang benar-benar vulgar, darah muncrat, pisau dan pelor menembus badan, kulit teriris-iris, dan seterusnya.
Untuk penggemar The Raid, well, you’ll feel right at home here.
Para aktor dan aktris memberikan performa mereka yang aduhai, terlepas dari keterbatasan skenario dan penggambaran karakter yang cenderung hit and miss.
Di sisi peran, Ito (Joe Taslim) sukses menampilkan sisi manusia pendosa yang ingin taubat, sementara Arian (Iko Uwais)–meski tampak bekerja keras–mampu melakoni peran hitman yang kejam dan sadistis, meski “sampul” alias parasnya lebih cocok jadi pemuda baik-baik.
Harus diakui, aksi Fatih (Abimana) dan Boby Bule (Zach Lee) dalam film sangat apik, terlebih lagi saat disergap puluhan orang dari dua kubu berbeda di safe house–tempat mereka melindungi anak yang diselamatkan Ito. Aksi laga berbumbu tusuk-menusuk dan darah bermuncratan, dikemas mantap oleh Timo.
Sayang saja, sepanjang film hanya tersisip satu adegan yang berfungsi sebagai konteks tentang hubungan mereka dengan Ito dan Arian. Menurut saya, ini tidak cukup untuk menanamkan ikatan yang kuat ke penonton, padahal ikatan ini berpotensi memperdalam emosional dari apa yang mereka lakoni di film.
Typical cannon fodder buat memperlihatkan seberapa hebatnya karakter The Operator (Julie Estelle) rasanya masih bisa dieksplorasi lagi. Mungkin terbentur durasi. Saya jadi berharap ada prekuel The Night Comes Before Us untuk mengisahkan Si Operator.
Selebihnya, peran Aldo dan Dian Sastrowardoyo, kamu bisa nilai sendiri nanti. Saya enggan spoiler.
Catatan kecil, beberapa dramatisasi dalam film beragam. Nikmati saja. Ada yang kehilangan gregetnya karena diulang, bahkan ada satu adegan yang sampai membuat saya cringed saking absurd-nya. Tapi, lagi-lagi saya tak akan spoiler, tapi sebagai hint aja, it’s something to do with explosive things.
Kesimpulan
Selain tema cerita yang agak typical, film ini sukses mengobati rasa rindu akan aksi laga khas Indonesia. Tapi, ingat sekali lagi, tidak menonton film ini dengan anak-anak atau saudaramu yang di bawah umur, ya. Tak hanya adegan kekerasan brutal dan vulgar yang ditampilkan, film ini juga mengumbar kata-kata kasar yang memang lumrah di kalangan karakter dalam film.
Dengan presentasi sinematografi yang sangat baik, film ini bisa jadi pengobat rindu kalian para penikmat film-film action crime, yang sudah lama tak menyantap film macam The Raid.
Walau masih ada hit and miss, tapi menurut saya, film ini telah mengangkat ambang batas kategori film laga garapan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.
Congratulations, Timo! Thank you for making this entertaining movie.
Semoga film ini bisa menginspirasi sineas lain. Tak cuma dalam hal karya, tapi juga hal jualan di platform streaming yang relatif sudah mendunia.